Selasa, 04 September 2012

Lelaki Penjaga Kuburan




Tentang Arhali, lelaki renta penjaga makam yang kini sebatang kara, ada kisah masa lalu yang pernah diceritakan ayah sekadar untuk memberi pengertian agar aku tidak heran kalau ada orang lain
yang menceritakan kisah suram masa lalunya.
Walau kian samar seiring waktu masih bisa kuceritakan semampuku. Papar ayah, tragedi terbunuhnya para jenderal mamang tidak berdampak apa-apa terhadap kelangsungan hidup seorang buruh bengkel batik di bilangan Karet Tengsin macam Arhali muda. Namun pada masa-masa berikutnya ketika partai komunis dinyatakan terlarang dan dibubarkan, keselamatannya mendadak terancam. Melalui berita radio diketahui, orang-orang yang terindikasi mempunyai keterlibatan secara langsung atau pun tidak satu persatu ditangkapi.

Atmosfir Jakarta menegang, mencekam siang-malam dalam beberapa hari. Rekan-rekan sekerjanya yang pernah tergabung dalam arisan di warung kopi yang dikelola Karmaji jadi kancrut. Mereka belingsatan kabur meninggalkan mes setelah mengetahui tiga orang rekannya diciduk aparat. Karmaji belakangan diketahui sebagai kader partai komunis. Arhali tidak menyadari kalau para lelaki yang namanya tercatat buku arisan itu secara otomatis sebagai pengikut partai komunis. Sudah terlanjur, tak ada gunanya berdalih membela diri. Bukan saatnya untuk berargumentasi. Kumpul-kumpul di warung kopi milik Karmaji tak akan ada lagi. Kabur untuk menyelamatkan diri adalah satu-satunya pilihan. Pulang ke Dukuh Pinang, kampung tempatnya lahir dan dibesarkan itu pilihan terbaik.

Sarwiti, istrinya, tidak mengerti maksud kepulangan suaminya yang tidak sesuai dengan perhitunganya. Belum saatnya. Tak cukup waktu bagi Arhali untuk menjelaskan ihwal dirinya yang tengah didera ketakutan. Dia tak bersembunyi di rumah, karena mudah digeledah, hematnya. “Dik, kalau aku kelak tak kembali jangan sedih berlama-lama. Jaga anak kita. Banyaklah berdoa agar sedih dan sesal tak jadi terlalu. Aku akan kembali bila keadaan aman. Tak jauh dari kampung kita aku pergi. Jangan terlalu mengkhawatirkanku. Aku titip anak-anak. Kalau ada orang mencari dan menanyakan di mana aku, katakan tidak tahu.” Arhali membayangkan kemungkinan terburuk atas nasibnya yakni tertangkap, dipenjara lalu disiksa sampai mati, seperti gerakan wanita yang konon menyiksa para jenderal dalam iringan genjer-genjer, atau ditembak lalu mayatnya di buang ke jurang. Mengerikan!

Dukuh Pinang, kampung yang tidak tercatat dalam peta nusantara itu tampak anggun dalam belaian angin laut utara. Kesiah daunan bambu dan derit batang-batangnya bak gadis jelita menimba air di sumur gali. Sahutan ayam jago di pagi dini sabahat setia kehidupan yang terus memompakan gairah hidup menyongsong fajar dan matahari dengan segala kehangatannya. Cinta dan kesabaran tumbuh dan berkembang dengan sewajarnya. Pohon-pohon yang ditanam dan dirawat kemudian membalas jasa kepada pemiliknya bila tiba masanya. Mengerjakan apa saja yang bisa dan semestinya dikerjakan adalah wujud kesungguhan menerima tugas hidup. Berkat semua itu Dukuh Pinang menuai damai, tanpa badai, tanpa baku tikai. Diyakini, dari kampung ini kasih sang maha bijak tak akan pernah beranjak. Harmoni tetap terjaga. Dalam keadaan panik paman tak merasakan harmoni itu ada. Meskipun kampungnya jauh dari keramaian, bukan tidak mungkin aparat hukum akan datang menciduknya.

Meskipun belum mengerti betul alasan suaminya terlibat partai terlarang di Jakarta namun Sarwiti bisa memahami bahwa suaminya dalam bahaya. Setelah berkemas dengan bekal sekadarnya paman bergegas meninggalkan rumah. Kebun rumbia (kiray) yang menyerupai hutan di sebelah barat yang hampir seperempat luas kampung menjadi tempat persembunyiannya. Dia tahu seluk beluk lingkungan kampungnya. Kebun rumbia itu sering dimasukinya semasa kecil. Malam hari di situ gelap dan seram.

Tiga hari tiga malam bukan waktu yang singkat. Arhali telah memenjarakan diri dalam persembunyian di kebun rumbia. Lapar, dingin dan gigitan nyamuk turut melengkapi penderitaannya. Setelah merasa aman karena tak terdengar teriakan-teriakan yang mencurigakan, tengah malam dia kembali ke rumah yang jaraknya tak sampai tiga ratus meter. Tak ada tanda-tanda ada orang yang mencarinya. Juga dia yakin tak ada orang yang melihat kepulangannya. Namun naas bagi Arhali, dua orang berbadan tegap dengan pakaian preman mengintai rumahnya sejak siang. Menyadari hal itu Arhali lari tunggang langgang menerabas semak-semak tanpa rasa takut terluka atau dimangsa harimau jadi-jadian yang pernah ditemui warga di situ. Arhali mencelupkan diri dalam gelap kebun rumbia. Raib di rimba malam. Jantungnya berdegup cepat. Nafasnya tersengal. Sementara Arhali lolos dari kejaran.

Ternyata kedua lelaki tegap tadi tahu ke arah mana Arhali kabur. Dua kali letusan senjata sempat mengejutkan warga. “Maling! Buron!” Selang beberapa saat teriakan warga seperti hujan yang tiba-tiba lebat. Bunyi kentongan pun bersahutan. Para lelaki yang keluar rumah dengan senjata tajam dan tumpul dalam genggaman. Warga Dukuh Pinang tak mau kampungnya dimasuki pencuri atau penjahat. spontan mereka mengejar buruan ke arah yang ditunjukkan dua orang berpakaian preman tadi. Kedua orang itu mengaku sebagai aparat yang ditugasi melakukan pengejaran orang yang menjadi targetnya. Pencarian dilakukan berjam-jam, sampai redup lampu senter yang digunakan warga karena lemah baterainya. Mereka menyisir semak-semak sampai ke bagian yang paling seram. Seperti berburu tikus.

Menjelang subuh dua orang yang mengaku aparat tadi atas bantuan warga berhasil menangkap buruannya. Arhali ditemukan terselip di bawah pohon rumbia yang rebah di permukaan air. Tubuhnya dan wajahnya kuyup berlumur lumpur. Tak ada yang mengenalinya sebagai Arhali yang mereka kenal. Mereka tak tahu siapa yang hendak mereka cincang. Beberapa pukulan sempat mendarat di wajah dan tubuh Arhali. Mereka megira buronan itu berasal dari daerah lain yang kemudian masuk ke kampung mereka. “Ampun, ampun, saya Arhali.” Salah seorang warga yang tak peduli dengan emosi dan beringas menghajarnya. Arhali yang baru saja berdiri, roboh. Dia mengaduh, meringis menahan sakit. Pelipisnya bocor. Hidungnya berdarah-darah. Ketika pukulan berikutnya akan mendarat, salah seorang dari warga melerai. “Betul, dia Arhali. Arhali putra Pak Marsadi!” Satu dari dua lelaki tegap segera memborgolnya.

Pagi itu juga Arhali diangkut dengan mobil dinas tentara. Dalam berita yang beredar di kalangan warga sedesa bahwa pagi itu seorang warga Dukuh Pinang telah diciduk petugas. Orang-orang yang turut membantu pengejaran Arhali merasa menyesal. Menyesal karena telah bersikap beringas dan kemudian menyerahkannya kepada aparat penegak hukum yang menurut mereka belum tentu akan berlaku adil. Arhali yang mereka tahu bukan tipe penjahat. Mereka yakin Arhali tidak bersalah. Mereka juga malu terhadap pak Marsadi, ayahnya. Pak Marsadi itu guru mengaji mereka waktu kecil. Sejak pagi, mendung terus menggantung di atas Dukuh Pinang. Duka menyelimuti keluarga dan kerabatnya. Sarwiti sesenggukan tak henti-henti. Kedua anaknya yang masih kecil-kecil tak tahu ke mana sang ayah dibawa pergi. Dukuh Pinang telah kehilangan warganya hari itu.

Lama setelah penangkapannya, tersiar kabar bahwa Arhali dipenjarakan di seberang pulau. Tak seorang pun penduduk Dukuh Pinang yang tahu. Tak ada pula keluarganya yang dapat menjenguk karena jauhnya, di seberang lautan! Nasib Arhali di mata keluarga tak jelas, hidup atau mati. Hari-hari berjalan terasa lamban. Bagi Sarwiti menghidupi dua anak tanpa bantuan suami teramat berat. Ia tak sanggup menanggung beban hidup. Dalam kondisi serba sulit itu ia tidak dapat menolak berbagai bantuan dari Marzuki, seorang duda kaya yang ditinggal mati istrinya. Kehadiran Marzuki sangat dirasakan dapat mengubah jalan hidupnya, sehingga ketika Marzuki mengutarakan niatnya untuk menikahi dirinya Sarwiti tak dapat menolak.

Pernikahan mereka bisa terlaksana apa bila ada surat cerai dari Arhali. Seminggu menjelang pernikahan mereka, Marzukilah yang mengusahakan Sarwiti bisa bertemu Arhali di pengasingan. Tak sedikit biaya yang dikeluarkan Marzuki. Ketika mengantar Sarwiti, Marzuki tak menampakkan diri kepada Arhali. “Sabarlah dik, aku mohon, tidak lama lagi aku bebas dan kita bisa bersama lagi.” Arhali menangis sejadi-jadinya. Seluruh badannya gemetar. Serasa badai melibas seisi ruang batinnya, tanpa kecuali yang dijaga rapi: cinta.

“Tidak bisa Kak, sudah terlalu lama.” Sarwiti bercucur air mata. Keinginan Sarwiti tak dapat ditawar. Sarwiti sendiri juga tidak kuasa mengurungkan niatnya. Dengan berat hati Arhali terpaksa menuruti keinginan istrinya dibuatkan surat cerai pada secarik kertas yang telah disiapkan Sarwiti.

Sepulangnya Sarwiti, Arhali mengalami goncangan batin yang hebat, shok berat. Sempat terlintas keinginan mengakhiri hidup. Namun nalurinya tak menghendaki hal itu. “Kita sudah kalah, apakah akan diperparah dengan kekalahan berikutnya yang diciptakan sendiri?” Hibur Sarpani, teman sekamarnya. Beruntung, aktivitas di penjara dan bimbingan rohani yang didapatnya sedikit demi sedikit dapat meringankan beban derita batinnya “Segala yang pernah menjadi milikmu itu hanya titipan. Relakan sang pemilik berkehendak. Ambillah hikmahnya. Semua yang telah terjadi adalah atas kehendaknya, percayalah!” tambah Sarpani. Keinginan untuk hiduplah yang membuatnya bertambah tabah menghadapi persoalan sebagai cobaan. Kelak ketika kembali ke masyarakat Arhali ingin menjalani kehidupan secara wajar. Untuk itu pula keterampilan pertukangan yang diajarkan di lapas dipelajarinya dengan sungguh-sungguh. Dia sadar, bahwa dirinya harus punya keahlian. Arhali pesimis bisa kembali bekerja di bengkel batik. Di samping statusnya kelak sebagai bekas tahanan, usianya yang dianggap tidak produktif, juga tidak mustahil kalau perusahaan tempatnya bekerja akan gulung tikar.

Lima tahun berselang Arhali bebas. Itulah hari yang dinanti-nantinya. Genaplah lima belas tahun menjalani hidup sebagai tahanan. Pemenjaraannya tanpa melalui proses pengadilan. Selama itu pula Arhali tetap menjalankan ibadah secara normal. Tak ditemukan indikasi Arhali sebagai orang ateis. Bahkan dia sendiri tak mengerti arti kata ateis. Tak ada pula niatannya untuk meninggalkan agama. Ketenteraman batin yang diperolehnya justru karena dia merasa dekat dengan tuhan berkat aktivitas ibadahnya yang sungguh-sungguh. Shalat lima waktu dan puasa ramadhan dijalaninya dengan semestinya.

Sasaran pertama kepulangannya adalah rumah yang ditinggali bekas istri dan kedua anaknya yang kini telah jadi milik orang lain. Tak ada maksud untuk menuntut Sarwiti atas pilihanya meninggalkan dirinya. Utamanya, Arhali ingin bertemu dengan kedua anaknya. Andai bertemu Marzuki, suami Sarwiti, Arhali ingin menyampaikan terima kasih atas kesediaannya menyayangi kedua anaknya.

Bertopi laken, kaca mata hitam, kumis dan janggut tebal, rambut dicukur stik, jaket kulit hitam, celana jeans biru lusuh, sepatu model hansip, dan bersepeda batangan merk RRT Arhali tampil menggagah-gagahkan diri. Dengan usia dan pengalaman yang menempanya, Arhali menjadi pribadi yang relatif matang dengan bekas luka di batinnya. Dia juga tidak mau menjadi orang yang terpuruk dan kalah, kalah menantang hidup. Darahnya mendesir begitu kakinya menapak di beranda rumah Sarwiti.

“Assalamualaikum!” salam Arhali bernada meninggi.

Tak ada yang menjawab. Sesaat kemudian dari balik pintu muncul seorang gadis, menyusul Sarwiti bersama anak kedunya yang beranjak dewasa. Arhali tak dikenali kedua anak perempuannya itu. Begitu pula Sarwiti. Menyadari mantan istrinya tak mengenali, Arhali membuka kaca mata hitam dan topi lakennya.

“Saya Tuan Arhali. Arhali bin Marsadi. Dari kampung seberang saya berasal. Datang untuk menyambung silaturahmi,” ungkap Arhali dengan suara yang sedikit dibuat-buat. Senyumnya berenergi masih seperti senyum yang pernah ditebarnya ketika pertama kali Sarwiti kepincut sekian tahun lalu pada acara hajatan di rumah paman Sarwiti.

“Kakak!” Sarwiti tersentak, tak mengira bahwa orang yang pernah disakitinya hadir di depannya. Perasaan bersalah, haru, takut, gembira jadi satu. Seperti ada utang yang tak akan terbayar saat penagihnya datang. Beruntung, Arhali sangat memahami keadaan bekas istrinya itu. Sikap simpatinya berhasil mencairkan suasana.

Itu puluhan tahun lalu. Kini, waktu telah mengirimnya ke masa senja. Sisa hidupnya dihabiskan untuk menjaga pemakaman umum di ujung kampung. Makam Sarwiti, bekas istrinya selalu menjadi perhatiannya. Makam itu kerap diziarahinya. Tak pernah pula rumput dibiarkan sampai merambatinya. ***






Tidak ada komentar:

Posting Komentar