Rabu, 15 Agustus 2012

penglaris…








Jaman yang susah seperti saat ini kadang bisa membuat orang gelap mata, menghalalkan segala cara, menggunakan semua upaya, agar bisa kaya secara instant. Termasuk salah satunya dalam bisnis

kuliner. Warung Soto Pak ‘H’ sebut saja demikian, adalah warung soto yang relatif baru di daerah Jakal KM sekian, kalau orang Jogja pasti kenal Jakal, alias jalan kaliurang. Sebuah jalan yang membentang antara kampus UGM sampai perbatasan obyek wisata Kaliurang. Jalan yang penuh dengan deretan warung-warung kuliner dengan aneka rasa dan gaya untuk menarik mata dan selera pengguna jalan. Siang itu, karena ada satu urusan aku dan beberapa famili melintasi jalan itu. Karena sudah saatnya makan siang, kami lalu memutuskan berhenti dan mencari warung soto yang sesuai selera dan isi kantong kami. Perhatian kami tertarik pada antrian yang luar biasa panjang dari sebuah warung soto. Sementara warung-warung disekitarnya hanya dipadati satu sampai dua mobil pengunjung saja. “ayo…mampir di warung soto itu saja” kataku sambil meminta persetujuan kakak tertuaku, “ayo…” kata mereka hampir bersamaan.



Setelah menunggu berapa lama, kami akhirnya mendapatkan tempat parkir yang lumayan jauh. “waduh habis makan kita lapar lagi pakde” kata eko ponakanku. Kami semua tertawa menanggapi guyonan eko, keponakan kami itu. Sebagai warga Jakal, eko pasti paham mana soto yang enak dan tidak enak, maklum ponakanku tadi hampir 4 tahun indekost didaerah Jakal itu. Menurutnya, warung soto tadi sebetulnya termasuk pendatang baru. Namun pengunjungnya sudah hampir mengalahkan Ayam Goreng waralaba dari Amerika. Setelah agak pegal berjalan akhirnya kami sampai juga di warung yang ditata cukup rapi dan bersih itu. Kami harus berdiri agak lama, untuk bisa mendapatkan tempat duduk buat kami berenam. Pakde sadargo, kakak tertua kami yang sangat paham dengan dunia metafisika, berdehem tiga kali. Diambilnya rokok kretek kegemarannya, matanya sedikit terpejam. Kami semua jadi diam, karena tahu persis bila sampai pakde sadargo mengambil rokok, dan menghisapnya dengan gayanya yang khas tentu ada apa-apanya. Benar juga, belum sampai lima menit, pakde sudah berkata “kita cari warung lain saja yuk, tempatnya penuh” katanya dengan bahasa yang tegas. Tentu saja, perintahnya tadi membuat kami bertanya-tanya. Termasuk aku, “begini dik erry..coba lihat apa yang terjadi diwarung itu” katanya sambil mengusap punggungku tiga kali. Mendapat usapan tiga kali dipunggungku tadi, sepontan aku melihat dengan saksama suasana warung yang ramai oleh pengunjung yang sedang makan soto itu. Aku kaget, karena dengan usapan dipunggungku tadi, mata bathinku ikut dibuka. “ Masya Allah….” Aku menyebut nama Allah SWT berkali-kali. Aku dengan gamblang melihat banyak sekali pocongan yang meludahi mangkok-mangkok soto yang sedang dimakan dengan lahap oleh pengunjung warung itu. Jumlahnya puluhan pocongan, hampir setiap satu mangkok diatasnya ada satu pocongan yang meludah berkali-kali di mangkok soto itu. Melihat pemandangan yang seram tapi menjijikkan itu aku berkali-kali hanya menyebut nama Allah SWT.



Melihat kami yang hanya bergerombol didepan pintu masuk,  dengan wajah nanap, nampak seorang tua dengan baju surjan hitam mendatangi kami. Dengan wajah gusar dia menghampiri pakde Sudargo, “ jangan ganggu kami, kami hanya mencari nafkah dan silakan bapak-bapak makan di warung lain saja “ katanya dengan bahasa yang kasar dan jauh dari kata ramah. Pakde sudargo cuma tersenyum  sambil berkata “ Ayo kita makan diwarung lain saja, tempatnya penuh”, akupun mengamini dan segera menggamit eko yang kelihatan agak tidak terima, karena menurutnya warung soto itu enak sekali rasanya.



Setelah kita jauh, pakde sudargo lalu menjelaskan kenapa kita tadi disuruh pergi sama yang punya warung. Ternyata warung soto itu menggunakan penglaris dalam bentuk air liur pocong. Bagi orang yang menyantapnya, air liur pocong tadi bisa menambah rasa lezat kuah soto, yang membuat orang pengin menambah dan menambah porsi sotonya. Sedang bagi yang diberi kelebihan untuk melihat yang kasat mata, air liur itu sangat menjijikkan. Kami bergidik mendengar penjelasan pakde, sementara aku yang sempat melihat bagaimana pocong-pocong itu saling meludah di kuah soto, hanya bisa geleng-geleng kepala, kenapa ada orang sampai hati mengorbankan orang lain untuk mencari kekayaan dunia belaka.



Demikian pengalamanku ketika urung makan di sebuah warung soto yang sangat laris didaerah Jakal Jogja. Mudah-mudahan bisa menjadi cermin untuk hidup didunia ini.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar