Senin, 13 Agustus 2012

Sahabat, kenapa dengan dirimu???





Kejadian ini, sebenarnya sudah cukup lama, yaitu tiga tahun yang lalu. Tapi, rasanya kesedihan itu masih mebekas di hati. Aku tidak pernah menyangka, siang yang cerah itu akan menjadi hari terakhir
baginya. Siang itu, Allah telah mengambil nyawa seorang wanita cantik, periang, dan namun sayangnya dia susah sekali untuk melaksanakan ibadah. Bukan, dia bukan ibuku. Tapi, dia adalah seorang wanita yang sering ku panggil dengan sebutan, “Sahabat”.

Ketika, aku mendengar kabar Yuki yang telah meninggal, aku hanya mampu berkata, “Yuki selamat jalan sahabat, aku pasti akan menyusulumu. Pasti!!”. Namun, aku belum tahu apa penyebab dia meninggal. Yang aku tahu, sekarang tubuhnya dibalut dengan kain berwarna putih bernama kain kafan dan juga aku tahu, sekarang tubuhnya telah bercampur dengan tanah.

Seribu tetes air mataku tidak bisa mewakili rasa sedih yang memberontak dalam jiwa yang sedang kehilangan. Semua itu berawal dari…

Minggu, 9 Agustus 2009

Hari ini, aku berjanji pada Arisa, jika aku akan datang ke rumahnya yang berada di kawasan Pondok Hijau, Bandung. Hari itu, aku tersenyum di depan kaca, dan membisikkan sebuah kalimat pada diriku sendiri, “Sekarang, kamu akan ke rumah Arisa, Dewi. Kerumah sahabatmu. Itu artinya, hari ini kau harus mempunyai senyuman yang indah,” gunyamku di dalam hati.

Aku berjalan dengan semangat menuju mobilku yang merah itu. Namun, tiba-tiba ponselku berdering dengan keras. Setelah kulihat, ada nama Yuki yang tertera di depan kaca ponselku. Itu artinya, Yuki menelefonkku.

“Ia, Yuki? Kenapa?” tanyaku sambil menutup pintu mobil.

“Wi, aku mohon, temenin aku ke Jalan Merdeka yuk. Aku takut nih, kalau sendirian.” katanya dari kejauhan telephone.

Dengan tegas, aku menjawab, “Gak bisalah!!! Aku kan harus ke rumah Arisa.”

Dengan nada sedih, dia menjawab, “Ya udah deh. Bye!!” katanya.

Setelah percakapan singkat itu pun, aku segera menggas mobilku menuju rumah Arisa.

Jarak rumah ku, ke daerah Pondok Hijau memanglah tidak terlalu jauh. Hanya membutuhkan waktu lima belas menit, untukku sampai di rumah Arisa.

Aku melihat Arisa, sedang berdiri di depan rumahnya. Sambil memperlihatkan senyum indahnya, yang seolah mewakili perasaan hatinya yang sedang senang. Tak mau kalah, aku pun memperlihatkan senyum terindahku.

Rencana pertama kami, kami akan menonton sebuah film baru, yang baru di beli Arisa. Dan selanjutnya, kami ingin membaca komik keluaran terbaru.

Satu persatu kegiatan yang telah direncanakan oleh kami pun berjalan dengan kegembiraan yang memenuhi diri kami. Namun, ketika kami memutuskan ingin berbelanja di sore hari, telephone genggamku kembali berdering.

Namun, aku tidak tahu siapa yang menelofonku. Karena, nomber telephonenya tidak aku kenal. Dengan nada penasaran, ku angkat telephone itu.

“Assalamu’alaikum! Maaf, ini siapa ya?” tanyaku sambil masuk ke dalam mobil.

“Wi… Ini, mamanya Yuki…. Wi, Yuki meninggal Wi…” kata suara seroang wanita yang terdengar sedang menangis.

Aku yang mendengar kabar itu, tidak bisa berkata apa-apa. Dan tanpa terasa tetes demi tetes air mata mengalir dari mataku. Aku segera menolehkan kepalaku ke arah Arisa.

Arisa yang melihatku menangis, hanya bisa mengernyitkan dahinya. Yang menandakan, “Kamu kenapa?”.

Dengan terbata-bata, aku menjawab, “Arisa… Yuki meninggal…” kataku sambil menatap mata Arisa.

Arisa, tidak kalah kagetnya denganku. Dia menuyuruhku agar segera menyetir mobilku menuju rumah Yuki. Mendiang sahabatku. Di jalan, aku terus berkata dalam hati, “”Yuki selamat jalan sahabat, aku pasti akan menyusulumu. Pasti!!”.

Aku berfikir, betapa bodohnya aku telah menolak permohonan Yuki. Yang ternyata, adalah permohonan terakhirnya. Bodohnya, aku!!!

Saat sampai di rumahnya, bendera kecil bewarna kuning terpajang di depan rumahnya. Aku tidak kuasa, melihat orang-orang yang memakai baju bewarna hitam berlalu lalang sambil berkata, “Inalillahi, Yuki meninggal..!!!”

Sedikit demi sedikit, dengan perasaan berat ku langkahkan kakiku menuju sebuah ruangan, yang didalamnya terdapat tubuh Yuki yang sudah terbaring dengan kaku.

….

Tak kuasa melihat tubuhnya yang mulai mendingin, aku menangis meraung-raung sambil berkata, “Yuki.. aku bodoh, aku tidak bisa mengabulkan permintaanmu. Bodohnya aku!!”.

Siang yang cerah pun, berganti menjadi sore yang sangat gelap. Hujan turun membasahi bumi, seolah pertanda alam pun ikut bersedih dengan kepergian Yuki.

Ku mencoba membuka kain putih, yang menutupi wajah Yuki. Ku lihat, wajahnya sangat cantik, putih.. bukan tapi pucat pasti. Bibirnya, seperti sedang tersenyum. Hatiku tidak bisa terima, Yuki yang tadi pagi menelofon, kini sudah tidak ada.

Dan, dengan terpaksa kakiku harus mengantarkan Yuki ke tempat peristirahatannya yang terakhir, aku tidak rela!!! Di tengah hujan yang mengguyur bumi, kesedihan sudah tidak bisa ku bendung. Air mata ini, bercampur dengan air hujan. Sungguh berat, melepasmu pergi sahabat!!

* * *

Sekarang, sudah bulan November. Aku duduk termenung, di depan jendela sambil membawa fotoku yang sedang bersama Yuki. Ku lihat, di foto itu dia tersenyum sambil merangkulku. Namun, sekarang melihat wajahnya saja aku sudah tidak bisa.

Namun, tiba-tiba di tengah keheningan malam, aku mendengar suara langkahan kaki, tepat dibelakangku. Tidak mungkin, papa dan mama pulang dari Singapura tanpa memberitahuku. Namun, yang membuat aku yakin itu bukan mama dan papa adalah, dia tertawa dengan suara khas yang dimiliki makhluk astral bernama “Kuntilanak”.

Dan, akhirnya aku pun mencoba diam, tak berkutik. Ketika kulihat kesamping kiriku. Hem… makhluk itu lagi, wanita memakai baju putih, berambut panjang. Benar.. Kutilanak. Dia tidak memperlihatkan wajahnya, dia terus menatap ke depan selama sepuluh menit.

Akhirnya, dia pun menoleh ke arahku. Dia memperlihatkan wajahnya. Wajahnya, biru seperi kehabisan nafas. Matanya hitam legam. Dan juga hidungnya, hanya ada sebelah. Namun, ketika ku lihat lebih seksama. Wajah itu adalah wajah Yuki, sahabatku.

“Yuki..” kataku dengan terbata-bata.

“Aku hanya mampir wi…” katanya dengan sangat pelan dan nada lirih seperti kesakitan.

Aku pun, tidak bisa berkata apa-apa lagi.

Kemudian, dia berkata lagi, “Nyesel aku tidak shalat… Titip salam ya, buat mama dan papa. Aku rindu kalian..!!” katanya.

Kemudian, dia pun menyeringai ke arahku, sambil menunjukkan kukunya yang kuning dan panjang. Yang, aku rasa ketika melihat rupanya yang sekarang adalah perasaan sedih. Kenapa dia bisa seperti itu? Hanya bau amis yang dia tinggalkan seiring dia pergi.


Esok harinya, ibunya Yuki menelofonku. Dan bilang, “Yuki tidak kecelakaan. Katanya dia, serangan jantung,” kata wanita separuh baya itu sambil menangis.

Namun, yang aku herankan, Ibu Yuki pernah bercerita ketika mobil dan tubuh Yuki ditemukan di daerah Jalan Merdeka kondisi mobilnya sangatlah hancur dan beberapa jendela pun pecah, namun menurut penuturan ibu Yuki, di  tubuh Yuki tidak ditemukan luka sedikit pun. Inilah misteri, yang tidak bisa terkuak sampai sekarang, setelah tiga tahun Yuki meninggal.

….

Setelah kejadian itu, Yuki tidak pernah mendatangi ku lagi. Tapi, katanya di rumah mendiang sahabatku Yuki, sering terdengar suara tangisan, yang berasal dari dalam kamar Yuki. Orang tua serta tetangga Yuki meyakini itu adalah suara tangisan Yuki. Namun, dia tidak pernah menampakkan wajahnya. Warga meyakini, penyebab Yuki menjadi seperti itu dikarenakan Yuki jarang sekali beribadah, apa lagi shalat lima waku.

Sahabat, itulah salah satu  kisah yang aku alami. Semoga, Yuki tenang di alam sana.

Tiada hari tanpa kata maaf. Karena itulah, hari ini aku meminta maaf jika ada sebuah kata yang membuat sahabat merasa tersinggung atau merasa kata-kata itu adalah kata kotor dan terlalu berbelit. Aku hanya bisa minta maaf.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar