Minggu, 08 Juli 2012

Hantu Di Dalam Ruangan






Ruangan itu berhantu.

 Aku mendengarnya dari mulut sahabatku saat kami bercengkerama di sebuah coffee shop sambil menyesap kopi dan mengunyah
kentang goreng ala Perancis. Malam itu, Surabaya sedang basah. Hujan tumpah dari langit seolah seluruh isi sungai Brantas dituangkan perlahan-lahan; banyak, tiada berhenti. Coffee shop itu adalah satu-satunya tempat berlindung yang menyenangkan daripada harus terburu-buru pulang ke rumah saat banjir belum lagi surut dan macet di mana-mana.

 Jadi, sudah satu setengah jam ini aku ‘terjebak’ di coffee shop tengah kota, dengan seorang sahabat yang sengaja kujemput dari kantornya lalu kupaksa untuk menemaniku menanti hujan. Tentunya dengan embel-embel free-coffee-for-tonite-only.

 “Dari mana kamu tahu kalau ruangan itu berhantu?” tanyaku setelah menyedot isi gelas tinggiku untuk yang kesekian kalinya.

 “Dia yang cerita,” kata sahabatku dengan tenang.

 Oh, ya. Yang dimaksud dengan ‘Dia’ adalah lelaki yang baru kukenal beberapa waktu lalu, di sebuah acara meeting antar kantor pelayaran yang kebetulan diadakan di ruang meeting kantorku. Lelaki dengan hazel eyes, rambut rapi, dan blackberry di tangan yang berdering terus tanpa henti saat meeting usai persis pukul tujuh malam.

 Namanya Ahmad. Seorang sales manager, yang juga atasan sahabatku di kantornya.

 “Ups, bukan hanya dia yang cerita, sih. Tapi aku pernah melihatnya sendiri…”

 Aku terhenyak. Hatiku berdebar.

 “Melihat sendiri?” tanyaku.

 “He eh.”

 “Bagaimana sosoknya?”

 Kemudian sahabatku bercerita tentang hantu itu; bagaimana wujudnya, bagaimana kehadirannya, bagaimana seorang Ahmad seringkali tak bisa berkonsentrasi penuh saat bekerja.

 “Jadi Hantu itu berambut panjang lurus sepunggung?”

 Sahabatku mengangguk.

 “Saat kulihat, dia sedang memakai pakaian yang manis sekali. Feminin, sekali. Aku sampai nggak percaya kalau dia adalah hantu yang jahat…”

 “Jadi, dia jahat?”

 Sahabatku menganggukkan kepalanya sekali lagi.

 “Ahmad bilang, dia hantu yang jahat.”

 “Kenapa?”

 “Entahlah.”

 “Hm… tapi lucu banget, ya?”

 “Apanya?”

 “Kalau hantu itu jahat, kenapa Ahmad nggak pernah mau pergi dari ruangan itu, ya?”

 Kami berdua terdiam. Bising suara musik dari stereo set yang terpasang di setiap sudut ruang telah membungkam mulut kami. Yang berbicara hanya intuisi masing-masing yang bertanya, “Iya, ya. Kenapa, ya, Ahmad tetap membiarkan hantu itu berkeliaran di sana?”

 **

 Ahmad; lelaki dengan hidung tinggi, wajah sedikit berjerawat, kulit bersih kecoklatan, dan senyum secerah pagi yang cerah, adalah jenis spesies lelaki yang akan membuat semua perempuan menoleh untuk yang kedua, bahkan ketiga kalinya, setiap berpapasan dengannya.

 Sales Manager sebuah pelayaran terkenal di Surabaya, dengan mobil Honda City terbaru, dan gaya bicara yang kocak tapi berisi itu, telah beberapa kali mengajakku berkencan setelah pertemuan perdana kami di acara meeting bulanan itu.

 Kepiawaiannya dalam mengubah suasana yang kaku menjadi lumer, cair, dan menyenangkan adalah satu nilai tambah untuk lelaki yang belakangan aku pikir terlalu sempurna untuk menjadi kenyataan. Bayangkan saja. Dia memiliki segalanya; karir yang cemerlang, otak yang cerdas, dan attitude yang sangat sopan. Bagaimana aku tidak klepek-klepek saat dia mengajakku berkencan?

 Sayangnya, ada satu keanehan dari Ahmad yang sangat menggangguku. Ternyata, setelah satu bulan terakhir aku dekat dengannya, aku baru mengetahui kalau dia memelihara seorang hantu perempuan di dalam ruangan!

 Gila, kan?

 “Dia nggak memelihara, Bawel,” kata sahabatku. “Hantu itu yang nggak bisa pergi dari ruangannya…”

 “Harusnya dia panggil ghostbuster atau Pemburu Hantu, deh, supaya hantu itu pergi…”

 “Memangnya kamu pikir, kamu siapa?”

 “Hah?”

 “Kamu tuh ghostbuster yang dia cari, Bawel!”

 **

 Satu hal, aku bukan ghostbuster. Aku bukan pembasmi hantu, apa lagi pemburu hantu. Lebih baik aku memburu Zara yang sedang sale daripada harus memburu hantu perempuan yang doyan mengganggu dalam ruangan itu.

 Tapi kata-kata sahabatku telah mengusikku; mau tidak mau.

 Bagaimana mungkin aku adalah seorang ghostbuster yang ditunggu Ahmad sekian lamanya? Kenapa bukan orang lain yang lebih kompeten? Aku bukan perempuan yang punya kemampuan untuk mengusir hantu itu pergi dari dalam ruangan. Aku bahkan tidak punya nyali untuk melakukannya! Dengar ya. Aku tidak punya nyali. SAMA SEKALI!

 Aku bukanlah seorang ghostbuster. Aku bukanlah seorang pembasmi hantu. 

 Jadi, lupakan saja, Ahmad.

 Aku tidak bisa membantumu.

 **

 Ruangan itu memang berhantu. 

 Suatu kali, Ahmad pernah mengajakku ke dalamnya ketika kami usai menghabiskan waktu dengan makan malam yang sangat romantis di bawah timpaan cahaya bulan. Malam itu adalah malam yang sangat menyenangkan buat aku, ketika akhirnya Ahmad menyatakan keinginannya untuk menjadi kekasihku.

 Aku mengangguk saja ketika Ahmad mengajakku masuk ke dalam ruangan itu, sepulang dari sana. Menghabiskan waktu di dalam ruangan; membagi kisah-kisah lucu sembari bertukar ciuman di bibir sampai berkali-kali.

 Ah, apa salahnya? Dia adalah kekasihku, sekarang.

 Ketika sedang asyik bercumbu, mendadak hantu itu datang. Dengan rambut panjang yang halus dan lembut, dengan wajah yang cantik memesona, dan wangi tubuh yang menyesakkan rongga paru-paruku. Ya, Tuhan! Hantu itu terlihat jelas di depan mataku!

 Aku tak bisa bernafas. Demikian pula dengan Ahmad yang hanya terbata-bata saat melihat hantu itu datang.

 Hantu itu lalu tersenyum, meski kedua matanya memandang kami dengan pandangan yang melukai. Aku gemetar. Aku tidak menyangka akan menemui hantu itu sekarang! Dan ya. Aku pikir, hantu itu hanyalah sosok yang tidak akan pernah kutemui selamanya! 

 “Jangan takut…” Hantu itu berkata dengan suaranya yang lembut.

 Bagaimana aku tidak takut denganmu, hey, Hantu! Kamu adalah hantu. Hantu. Dan jujur, aku sangat takut padamu!

 “Bukan kamu yang sengaja masuk ke sini, kan?” lagi, katanya, dengan lembut.

 Aku tidak pernah ingin masuk ke dalam ruangan ini… Tidak, dengan kamu di dalamnya.. Tidak, dengan sosokmu yang berkeliaran di dalamnya…

 “Jadi sudahlah… Keluar dari sini dan jangan kembali…”

 Aku tak bisa berkata apa-apa. Ahmad juga tidak membela diri sama sekali. Lelaki yang baru saja menciumku habis-habisan itu sama sekali tidak menolong. Dia bahkan tidak berdiri dari sofa dan hanya menundukkan kepalanya.

 “Kecuali kamu punya nyali untuk membasmiku, jangan pernah injakkan kakimu di sini lagi…”

 Hantu itu berkata dengan nada tenang, nafas yang teratur, namun dengan mata yang memerah marah. Aku tidak punya pilihan lain, selain angkat kaki dari ruangan lalu membanting pintunya keras-keras.

 Aku lari sekencang-kencangnya dari sana, sambil merasakan mulutku menghisap cairan asin yang keluar dari kedua mataku. Ya. Ternyata aku menangis ketakutan…

 **

 “Aku nggak mau nekat jadi pembasmi hantu,” kataku pada Sahabatku, persis di keesokan harinya, saat aku mengajaknya makan siang di Sup Konro dekat kantornya.

 “Tapi Ahmad benar-benar membutuhkanmu,” kata Sahabatku.

 “Ahmad tidak melakukan apa-apa saat hantu itu hadir,” sindirku.

 “Karena dia memang tidak bisa,” belanya.

 “Harusnya dia bisa melakukannya, tanpa ada aku sekalipun.”

 “Tapi dengan adanya kamu, dia memiliki keinginan untuk mengusir pergi hantu itu…”

 “…hh… entahlah.”

 “Hantu itu jahat; dia menyiksa Ahmad. Lelakimu itu terkurung di dalam ruangan yang akan menyiksanya, setiap saat, setiap waktu. Tidakkah kamu kasihan?”

 “Ah, sudahlah. Aku bukan pembasmi hantu. Aku tidak mau berurusan dengan hantu. Hidupku sudah cukup menyeramkan tanpa hantu perempuan itu!”

 Aku menyelesaikan makan siangku dengan cepat. Sudah menjelang pukul satu siang dan aku sudah harus segera kembali ke kantor untuk menyelesaikan laporan yang due besok pagi.

 Urusan hantu, jelas bukanlah urusanku.

 Sekalipun sejujurnya, saat mengintip ke dalam ruangan itu, aku merasa betah tinggal di sana…

 **

 Hantu itu bernama Anggia. Perempuan cantik, seumuranku. Sejak aku lari sambil menangis hebat dari ruangan itu, bertemu kembali dengan Anggia adalah hal terakhir yang ingin aku lakukan.

 Tapi nyatanya, Anggia datang menemuiku, tepat ketika aku lembur mengerjakan laporan mingguan yang harus diterima head office, di Taiwan.

 Jelas, aku bergidik.

 Jelas, aku ketakutan.

 Aku tidak mau bertemu dengan Anggia. Aku takut bertemu dengannya.

 Tapi, dia sudah nampak jelas di depanku. Dengan wajah cantiknya. Dengan senyum di wajahnya. Dengan kedua mata yang nampak bersahabat. Ah, aku tak berkutik karenanya, sehingga aku hanya diam, sembari mencoba menata degup jantungku yang kuharap tidak meloncat keluar dari relnya.

 “Kamu tahu kenapa aku datang ke sini?”

 Aku menggeleng.

 “Supaya kamu tahu, kalau aku adalah nyata…”

 Aku terdiam.

 “Dan supaya kamu tahu, kalau aku benar-benar tak suka kamu ikut menyesakkan ruangan itu…”

 Aku masih tak bisa berkata-kata.

 “Kamu tahu, Ratna, kenapa aku tidak pernah pergi dari ruangan itu?”

 Aku menggeleng. Heran, kemana semua kata-kata yang biasanya lancar keluar dari mulutku yang bawel ini? Kenapa mendadak aku kehilangan semua koleksi kata-kataku?

 “Karena Ahmad tidak pernah mau mengusirku pergi,” katanya perlahan. “Karena Ahmad tak punya nyali untuk melakukannya…”

 Aku tak bisa bernafas.

 “Ahmad menyuruhmu masuk ke dalam ruangan dengan maksud untuk membuat aku keluar dari ruangan itu, dengan mauku sendiri. Tapi kamu tahu, kan, kalau aku tidak akan pernah mau pergi, sampai kapanpun?”

 “…”

 “Jadi, lupakan saja semua usahamu untuk mengusirku pergi. Percuma saja. Aku sudah bertahan selama tujuh tahun di dalam ruangan itu dan Ahmad tidak pernah keberatan…”

 Anggia berlalu.

 Sementara aku hanya menangisi kebodohanku.

 ***

 Ruangan itu berada di dalam hati Ahmad.

 Ahmad telah mengajakku masuk ke dalamnya lalu aku mencoba melakukannya dengan segenap keberanianku.

 Tapi kini aku tahu, aku takkan pernah bisa berkompetisi dengan Anggia.

 Ya.

 Anggia. Hantu perempuan itu, adalah kekasihnya selama tujuh tahun yang tidak akan pernah bisa terhapus dengan mudahnya…







Tidak ada komentar:

Posting Komentar