Senin, 30 Juli 2012

Lingsir Wengi (Menjelang Malam)





Kringg… Kringg… Kriiingggg.”
Bel sekolah berbunyi nyaring sampai-sampai memekakan gendang telinga setiap murid kelas 3A, yang kebetulan ruang kelasnya
bersebelahan dengan speaker yang besarnya melebihi ember air. Beruntung bunyi bel itu merupakan tanda jam sekolah telah berakhir. Semua murid menyambut gembira, meskipun telinga terasa tuli sesaat.

 Bagas seorang penulis novel remaja yang sangat terkenal, karyanya sudah banyak yang dibukukan, bahkan ada 3 novel yang mencapai best seller. semua teman disekolahnya sangat mengenalnya, terlebih bagas remaja pria yang sangat bersahaja, pintar, ganteng dan anak orang kaya, sungguh idaman para remaja putri saat ini.

 Hampir setiap hari bagas pergi dan pulang sekolah bareng sama reza, sahabat sekaligus teman satu komplek tempat tinggal. Kali ini giliran bagas yang menunggu reza di depan kelas 3C. Bagas sempat mengintip kelas reza, siapa guru yang mengajarnya, sudah sepuluh menit dari bel pulang belum juga selesai pelajaran di kelas 3C, ternyata pelajaran ibu Sri.

 Selain mengajar bahasa indonesia ibu sri juga sering mendongeng kisah klasik dan legenda masyarakat jawa, maklum saja ibu Sri merupakan keturunna putri solo, entah turunan yang keberapa. Kadang-kadang ibu Sri suka menceritakan yang aneh-aneh dan horor, sampai-sampai semua murid merinding mendengarkannya, beruntung legenda yang diceritakannya pada siang hari.

 “Lama amat za? Dongeng apaan tuh bu sri?”

 “Cerita horor, tentang urban legendnya masyarakat jawa”

 “Kayak gimana za?”

 “Kayak orang nyanyi tapi yang dateng kuntilanak”

 “Ooo… Nyinden gitu ya?”

 “Ia, tapi pake bahasa jawa”

 “Ya iya la za…. Lo lagi! Kalo pake bahasa cina, yang dateng vampir donk” Bagas tertawa ngakak

 “Sial…”

 Sambil bercerita seru mereka berjalan menuju parkiran motor. Hampir tiap pulang dan pergi sekolah bagas selalu menumpang motornya reza, tidak langsung pulang tapi mereka jajan bakso dulu yang letaknya dekat dengan komplek perumahan mereka.

 Dalam perjalanan pulang reza tak henti-hentinya menceritakan kisah sinden jawa kuno dengan kuntilanak, seperti yang diceritakan oleh ibu Sri. Bagas mulai tampak merinding mendengar cerita reza yang menurutnya dilebih-lebihkan sehingga unsur orisinalitas ibu Sri sudah mengalami adaptasi kisah. Dan lagi-lagi reza selalu berkata “bener koq gas… Kalo gak percaya tanya aja ama temen-temen yang lain”. Sesekali bagas menyambung nafas buatannya dengan sebatang nikotin mild, yang menurut bagas dapat melepas penat, tegang dan lebih improvisasi dalam menulis.

 Setelah makan bakso, reza menurunkan bagas tepat di depan pagar rumahnya yang megah dan besar, padahal rumah itu dihuni oleh kedua orang tuanya dan kakak perempuannya. Ayah Bagas jarang dirumah, karena urusan bisnis usahanya yang tengah berkembang pesat. Hanya ibu dan dua orang pembantu yang tinggal di rumah besarnya, sementara kakaknya lebih sering diluar rumah bersama teman-teman sekampusnya.

 “Duluan ya gas…”

 “Makasih za”

 Mereka pun berpisah, reza langsung menghilang disertai deru suara motor 250cc dan bagas langsung masuk ke istananya.

 “Sudah pulang gas?” Tanya ibu

 “Iya bu” balas bagas singkat dan langsung menaiki anak tangga menuju ke kamarnya yang terletak di lantai dua.

 “Gak makan dulu gas?” Teriak ibu

 “Udah tadi bu, ama reza” balas bagas

 Tak ada obrolan ringan atau pun basa-basi, bagas asik dengan dunianya sendiri, sementara ibu melanjutkan obrolan di telepon dengan teman gosipnya, sesekali sambil mengubah topik pembicaraan sesuai dengan tema gosip murahan di tv.

 Bagas pun kian penasaran dengan cerita ibu Sri, ia langsung membuka komputernya dan browsing internet mencari asal usul dan kisah yang baru saja ia dengar.

 Diketiknya di kolom pencarian “lengsir wengi”, dan bagas menekan tombol enter. Aneh tapi nyata justru yang keluar adalah pembenaran kata “lingsir wengi”. ‘Ah.. Dasar reza salah informasi tentang pengejaan kata’ gumam bagas dalam hati. Ia pun langsung mengerakan mousenya ke kata yang benar. Setelah membaca cukup lama tentang kata lingsir wengi, bagas makin heran dengan penjelasan di internet. Mengapa tembang jawa kuno yang awalnya di karang oleh sunan kali jaga untuk menyembuhkan penyakit justru berubah memanggil kuntilanak. Rasa penasaran bagas kian menjadi, ia pun membuka halaman baru dan mencari seperti apa lirik dan alunan lagu tembang lengsir wengi. Ia menyempatkan untuk men download
 Lagu tersebut, barulah setelah komplit, ia mendengarkan alunan lagu yang tentram dan merdu itu…

 Bagas sedikit terhanyut dalam lamunan dan irama lagu tembang jawa kuno. Sesekali ia menolehkan kepala ke kanan dan kiri, tak ada siapa-siapa, hanya dirinya di dalam kamar.

 ‘Ahh… Mungkin hanya mitos saja…’ Gumam bagas dalam hatinya. Ia pun melanjutkan tidur siangnya dengan mengganti alunan tembang jawa menjadi suara jazz yang nikmat di dengarkan dikala santai. Bagas pun terlelap dalam tidurnya.

 Dalam tidurnya bagas bermimpi, ia menyayikankan lagu campursari dengan seorang gadis cantik nan jelita. Namun sayang ketika lagu campur sari berakhir gadis cantik berubah wujud menjadi sosok yang sangat menyeramkan, berjubah putih kedodoran, rambut panjang terurai tak terurus dan berwajah pucat. Tidak ada aura kecantikan lagi, justru seram dan menakutkan.

 Bagas terbangun dari tidurnya dengan keringat bercucuran dan nafas yang mulai terenggah-enggah.
 ‘Sial… Mimpi apa gue tadi’ bagas mengutuk dalam hatinya, tanpa ia sadari alunan musik yang ia setel sebelum tidur siang telah berubah, ‘perasaan nih lagu td bukan begini, koq jadi kayak dimimpi gue’

 Bagas seperti mengenal betul alunan lagu yang didengarnya, tapi entah apa lagus tersebut. Ia pun segera mematikan lagu tersebut, sembari membuka jendela dan mematika ac kamarnya. Ia menyalakan sebatang nikotin beraroma mild, dan bagas buru-buru mengambil telepon genggamnya. Nampaknya bagas sudah mulai menyadari lagu campur sari yang hadir dalam mimpinya tadi, ‘gue inget sekarang, itu lagu lengsir wengi!’ Kata bagas dalam hatinya sera berbicara dengan dirinya.

 “Halo reza!”

 “Apa gas?”

 “Sini lo ke rumah gue, buruan! kalo perlu nginep disini!”

 “Ada apa?”

 “Udah buruan!”

 “Ogahh… Ada apa dulu?”

 Bagas pun menceritakan apa yang sedang ia alami barusan, dari sesampainya di rumah hingga terbangun dari mimpinya.

 “Mampus lo gas…. Elo sih pake usil!”

 “Makanya tolongin gue donk…”

 “Sori bro, kalo urusan begituan, gue gak ikutan. Mending lo telpon bu Sri aja, minta wangsitnya”

 Telepon di tutup, mereka pun mengakhiri pembicaraan dan bagas terdiam, entah apa yang harus dia perbuat.

 Malam tiba, ia mulai menyalakan semua lampu di kamarnya dan lorong yang bersebelahan dengan kamarnya. Ia sengaja juga menyalakan komputer, tv dan radio secara bersamaan. Jam sudah menunjukan pukul sebelas malam, bagas masih belum beranjak tidur. Ia tengah larut dalam dunia nikotin yang menemaninya dalam menulis novel di komputer. Inspirasi bagas menulis cerpen dan novel terkadang datang pada malam hari, terutama karena pagi hingga siang telah ia habiskan waktunya untuk sekolah.

 Alunan musik jazz kontemporer tiba-tiba berubah menjadi alunan gamelan yang diiringi orang nyinden. Terkejut bagas mendengarnya, ia pun langsung mematikan ipodnya. Sesekali bagas melirik ke kiri dan kekanan, berharap tidak ada kejutan seperti mimpi siangnya. Dan memang tak nampak apa pun di kamarnya, hanya tempat tidur dikanannya dan lemari dikirinya. Ia pun mendorong kursi yang telah menyangga tubuhnya, bagas beranjak menuju kamar mandi yang letaknya tepat membelakanginnya. Pintu kamar mandi dibuka, bagas mencondongkan badannya sedikit sebelum seluruh tubuhnya masuk ke kamar mandi.

 ‘Tidak ada apa-apa… Hanya perasaanku saja’ dalam hati bagas berkata. Bagas mencuci wajahnya dengan air diwastafelnya, ketika itu pun ia tidak nampak tanda-tanda yang aneh. Setelah dari kamar mandi bagas, melanjutkan menulis di meja belajarnya, kali ini ia tidak menyalakan ipod. Ia meneruskan tulisan untuk novel barunya, sembari ia menghembuskan asap yang ditimbulkan dari batang nikotin rasa mild.

 Bagas kian larut dalam tulisannya, ia mentarget dalam beberapa hari sudah selesai draft novelnya, namun tiba-tiba bagas merasakan seperti ada yang memegang kedua pergelangan kakinya, sangat keras, sangat erat, ia merasakan seperti beberapa kuku tangan yang mencengkram erat dan menimbulkan sidikit luka. Bagas berontak, ia berusaha melepaskan diri dari cengkraman, ia memaksakan diri dengan mendorong badannya ke belakang, dengan harapan bisa terlepas dari kursi yang mengikatnya, berulangkali bagas berteriak dan menendang-nendang kakinya ke arah meja bagian dalam, namun tak kunjung lepas.

 “Tolong… Tolong… Ibu… Tolong…” Teriak bagas seraya memohon pertolongan, siapa saja dirumah besarnya yang mendengar teriakan bagas.

 Komat-kamit bibir bagas, ia pun membaca ayat-ayat suci al-quran, tapi cengkraman kian erat kiat menyakitkan pergelangan kaki bagas.

 Kali ini bagas mendengar dengan jelas seseorang menyinden tembang jawa. ‘Sial suara itu lagi!!’ Bagas mengutuk dalam hati. Suara yang awalnya terdengar sayup-sayup, kian lama kian terdengar jelas dan kali ini lebih nyaring. Tembang lingsir wengi, telah membuat raut muka bagas pucat, aliran darah terhenti mendadak. Bagas menolehkan mukanya ke kanan tampak seorang wanita tua berjubah putih terusan dengan rambut terurai tak beraturan, tangan kirinya tengah memegang kepala bagas dengan menyenderkan tubuhnya ke pundak bagas, sementara tangan kanannya mengelus wajah ganteng bagas.

 Bagas yang tak bisa berkutik hanya bisa memejam mata seolah tak kuasa melihat apa yang sedang ia liat saat itu, pemandangan yang menakutkan, wajah yang lembam, pucat, kelopak mata gelap, mata yang tajam, sentuhan wanita berbaju putih sangat dingin. Bagas pun merasakan sampai ketulang rusuk. Dibisikannya telinga bagas, suara lembut wanita tua itu menyapa “kau memanggilku nak?”. Bagas tak bisa bicara hanya sesekali ia mencoba membuka matanya, namun sungguh menakutkan.

 “Kau memanggilku nak?”

 Bagas tak kuasa menjawab pertanyaan mahkluk yang menyeramkan ini, ‘kuu.. n.. til.. a.. nak.. Enyahlah kau… Jangan ganggu aku!’ Hanya dalam hati bagas yang terucap, ia tak bisa bersuara, hanya gerakan bibir yang komat-kamit.

 “JAWAB!!! Kau memanggilku nak?” Bentak mahkluk yang menyeramkan.

 Lagi-lagi suara tembang jawa mengalun merdu di telinga bagas, sesekali disertai dengan suara tertawa yang memekikan telinga bagas “hihihhiiiii….” Lebih panjang… lengkingannya kian panjang, sampai-sampai anjing tetangga ikutan melolong.

 Malam yang panjang, malam yang sunyi, malam yang gelap, kini bagas tak kuasa menahan rasa takutnya, dengan nafas yang tersendat-sendat ia menjatuhkan diri ke lantai dari kursi yang hampir sepuluh menit menopang tubuhnya. Bagas yang tak sadarkan diri, dentingan suara tembang jawa mengalun kian lama kian hilang. Sosok mahkluk wanita tua berjubah putih beranjak hilang dalam sekelebat asap putih. Entah kemana hilangnya…

 “Gas… Bagas… Bangun nak, udah jam setengah tujuh” ibu sambil mengoncangkan kaki bagas. Bagas yang tengah tertidur pulas, bangun dari ranjangnya, sambil mata terbelalak.

 “Hah!!! Ooo… Iya bu. Aku dimana?” Tanya bagas

 “Kamu di rumah, kenapa gas? Kamu mimpi ya?” Balas ibu

 “Oohhh… Hanya mimpi buruk bu…” Jawab bagas, sambil beranjak dari tempat tidurnya menuju ke kamar mandi

 Reza datang dengan motor sportnya, suara meraung-raung sebagai tanda akan kehadirannya di depan rumah bagas. Tak lama, bagas pun menghampirnya dan suara motor 250cc meninggalkan sisa asap knalpot di depan rumah bagas.

 Sesampainya disekolah, bagas menceritakan apa yang dialaminya tadi malam ke reza, tak ada sedikit pun yang terlewatkan.

 “Sumpah lo kemaren malam telpon gue?” Reza memastikan ke bagas untuk yang ketiga kalinya

 “Iye… Ya udah kalo lo gak percaya! Gue aja sampe heran, pas gue bangun udah di kasur. Padahal tadi malam perasaan masih di meja komputer” jelas bagas kepada reza.

 “Mending lo ceritain deh ke bu Sri, sapa tau dia bisa bantu” balas reza sambil menenangkan bagas

 Setelah jam istirahat pertama, bagas menemui ibu Sri di ruang guru, bagas menceritakan semua kisahnya dari kemarin siang hingga saat ini, tak ada yang dilewatkan, detail dan jelas. Tak terasa bel masuk kelas telah berbunyi, tanda jam istirahat pertama telah berakhir. Ibu Sri yang semula hanya mendengarkan kisah bagas, kini ia mulai bersuara dan meninggalkan wangsit yang bijak,

 “Bagas… Kalau kamu tidak ada kepentingan, jangan memanggilnya!”

 “Lingsir wengi 
 sliramu tumeking sirno…
 Ojo tangi nggonmu guling…
 Awas jo ngetoro…
 Aku lagi bang wingo wingo…
 Jin setan kang tak utusi…
 Dadyo sebarang…
 Wojo lelayu sebet…”







Tidak ada komentar:

Posting Komentar