Selasa, 03 Juli 2012

POCONG DAN IWAN






Iwan duduk di kursi bambu, di bawah pohon jambu depan rumahnya. Dia tengah asyik membaca koran minggu lalu yang baru saja dibawa pulang ayahnya dari kota. Matanya yang tajam bak
mata Elang, menyapu bersih setiap halaman koran tersebut. Dari kolom ke kolom, sampai halaman iklan, tersapu bersih oleh pandangan matanya dalam waktu seketika. Saat ia membaca halaman paling belakang, tiba-tiba mata Elangnya menatap sebuah iklan yang menggiurkan hatinya.


 Dahinya berkerut, kedua alisnya naik tinggi-tinggi. Ditatapnya iklan itu lekat-lekat, seolah tak ingin terlepas satu hurufpun dari pandangannya. “Lomba mengarang cerita, dengan tema pengalaman pertama, bebas namun menyeramkan” Lalu ia menurunkan pandangannya. Melihat tentang syarat, ketentuan, serta hadiah yang diiming-imingkan oleh pihak sponsor. Seketika ia melotot tajam menatap hadiah yang terpampang di depannya. Dadanya kembang kempis, pikirannya langsung membumbung tinggi, menelusuri awan-awan yang bergelantungan diatas. “Wah, kalau aku menang nanti, pasti gak akan naik sepeda jengki lagi nih!” gumamnya. Bibirnya mengembang, wajahnya ceria seketika. Sambil tangannya mengelus-elus dagunya yang di singgahi jerawat sebesar petai.


 Tak lama kemudian, ia meletakkan koran tersebut di kursi, lalu berdiri. Kesepuluh jari tangannya bertemu di bekang punggung, pandangannya menunduk ke bawah, mondar-mandir, pelan mengelilingi pohon jambu tersebut. Bak seorang guru yang tengah mengawasi muridnya mengerjakan ulangan di kelas, ia berpikir keras mencari tema untuk bahan ceritanya.


 Sesekali ia menatap ke depan, diam, lalu tersenyum.

 “Ah, pasti kebanyakan orang akan menceritakan kisah malam pertamanya, hikz,…..!” tebaknya, sambil bergedek, seolah ia tahu apa yang baru saja ia pikirkan. Kembali ia melangkah pelan, mengitari pohon jambu yang rindang. Lama, hingga ia tersadar akan suara motor temannya yang mulai mendekat. Semakin dekat suara motor itu, semakin dia merasakan hebat degup jantungnya. Impiannya untuk memiliki motor seperti sohibnya serasa hampir mendekati. Seketika pikirannya menjadi kacau.


 “Wan, tumben kamu gak ngrumput.” Sapa Hadi, sahabatnya. Motor Shogun barunya diparkir tepat di depan Iwan.

 Deg…!

 “Duh, kamu kok cantik amat sih. Cup, cup, cup, hm” tangan Iwan mulai mengelus-elus motor. Lalu menciumi spion dan bangkunya. Turun kebawah, mengelus setiap lekuk besi dan kerangka motor dengan lembutnya. Lembut, melebihi belaian lembut buat kekasih. Kebawah lagi, hingga tangannya hinggap di ban dan jerujinya, ia belai sepenuh jiwa. Seolah di sana, di dunia khayalannya, ia bahagia dengan memanjakan, serta mengelus-elus mesra calon motor idamannya.


 “Oiii! Kamu gak papa kan, Wan?” tegur Hadi. Tanganya yang mengepal meninju bahunya. Iwan melonjak kaget. Ia baru tersadar dari lamunannya. Lalu menghela nafas, dan menelan ludah. “Untung gak sampai ketahuan benar-bener nyiumi motor” umpatnya, malu. Ia melangkah kembali ke kursi sambil menggaruk-garuk kepala, tersenyum sendirian


 Hadi menghampiri, lalu duduk di sebelahnya. Kursi bambu itu berderit lirih.

 “Bapakmu sudah pulang yah?” tanya Hadi, setelah dia melihat koran tergeletak di sisinya. Iwan mengangguk, lalu menunjukkan iklan tersebut pada sohibnya. Hadi ikut tercenung saat melihat hadiah yang terpampang jelas. “Motor, man!” ucapnya. Kedua alisnya naik turun.


 “Eh, nanti kamu kerumahku yah! Aku ada buku baru, khusus pelatihan untuk menulis. Bulan lalu, saat aku berlibur ke Jakarta, aku membelinya. Bukunya bagus banget. Rugi deh kalau gak baca” ucap Hadi. Mempromosikan buku barunya. Iwan semakin bersemangat, apalagi didukung penuh oleh sohibnya.


 Seminggu berlalu, Iwan masih dilanda gelisah. Pikirannya benar-benar terganggu oleh hadiah dari sponsor itu, yang sangat didambanya. Hari-harinya ia membaca buku yang dipinjami Hadi padanya. Buku tentang kepenulisan dari seorang motivator hebat, yaitu Bapak Radinal Muktar Harahap, yang berjudul “Menulis Itu Asyik Lho” Buku Langkah Asyik Melejitka Potensi Menulis. Semakin hari ia membaca buku tersebut, semangat serta impiannya seolah meledak-ledak dalam dadanya. Hanya saja, dia belum menemukan tema yang sesuai buat lomba tersebut.


 Siang itu, Iwan pergi ke warung untuk membeli pulpen. Ia melihat Kang Slamet beserta gengnya tengah duduk-duduk di warung tersebut sambil ngobrol dengan serunya. Lalu diapun nimbrung, mendengarkan kisah Kang Slamet, yang katanya semalam melihat hantu wanita. Seketika hatinya bersorak, ia merasa bahwa cerita Kang Slamet itu mungkin pas buat tema cerpennya nanti. “Pengalaman pertama Kang Samet, yang menyeramkan, pasti cocok deh” batinnya.


 Akhirnya, setelah ia pulang ke rumah, ia pun memulai tulisannya. Satu lembar pertama, setelah ia menulis, ia tak yakin, lalu meremas tulisan tersebut. Ia menghela nafas. Kembali membaca buku motivasi, “Teruslah menulis” itu yang ia baca. Dan semakin dibaca, ia merasa bagai terhipnotis dengan semangat penulisnya.


 Dengan semangat baru, kembali ia mengambil pulpen dan buku. Ia ingat-ingat semua cerita yang didengar dari Kang Slamet siang tadi. Dari pertama Kang Slamet hendak menonton kesenian ketoprak dengan menaiki sepeda ontelnya, lalu sampai pulang. Dan pada saat pulang itulah, di depan sekolahan ia merasa disapa oleh wanita cantik yang sangat harum baunya. Kang Slamet yang duda ditinggal istrinya merantau ke Hong Kong, merasa kesepian, lalu diapun berhenti dan membonceng wanita itu. Namun pada saat sampai di jembatan, Kang Slamet merasakan kakinya berat sekali untuk mengayuh lagi sepedanya, hingga diapun tak kuat, lalu tak lama kemudian, sepeda Kang Slamet tiba-tiba saja mbelok sendiri, hingga jatuh dan tercebur ke dalam kali. Setelah sadar, ternyata wanita yang diboncengnya tadi itu sudah lenyap. Semua Iwan tulis, hingga tangannya terasa kaku. Sayup-sayup terdengar suara Mboknya memanggil, membuyarkan semua ide yang tengah dituliskannya. Si mbok meminta Iwan menggembalakan sapinya di lapangan belakang sekolah.


 Iwan menurut kata simboknya. Ia membawa sapinya ke lapangan rumput, sambil membawa buku dan pulpennya. Ia berkhayal tentang cantiknya hantu wanita yang diceritakan oleh Kang Slamet. Setelah sampai di lapangan, ia mengikat sapinya, lalu kembali ia membaca tulisannya. Namun, lagi-lagi ia ragu, lalu menggeleng. Dan hampir membuang buku serta pulpennya. Sapi yang tengah digembala mengaum sambil membuang kotoran di situ. Iwan tak peduli, ia melangkah menjauh, lalu membaringkan tubuhnya di hamparan rumput hijau. Ia menatap langit yang tinggi nan biru, tak sedikitpun awan menggelantung di sana. Bayangan Hadi menaiki motor shogun dengan gagahnya, kembali menari-nari di kelopak matanya. Ada rasa yang menghampiri hati, namun segera jiwanya menolak.


 Sebulan kemudian.

 Malam Jum’at, setelah ia merampungkan yasinan di mushala, ia berjalan sendirian di depan sekolahan. Tujuannya hanya ingin melihat lokasi, saat Kang Slamet dicegat hantu wanita itu. Seperti yang ia baca di buku-buku, bahwa menulis itu setidaknya di sertai riset, agar tulisannya lebih bagus. Dan demi tulisan yang telah ia baca, demi tulisan yang akan ditulisnya, demi motor yang telah ia harapkan, akhirnya ia beranikan diri duduk di pagar sekolahan. Lagi pula dia memang tak percaya dengan cerita Kang Slamet, yang baginya terlalu mengada-ada, mungkin biar orang-orang takut untuk keluar malam.


 Iwan duduk menyender di atas pagar tembok sekolahannya. Kedua telapak tangannya bersedekap di depan dada. Wajahnya mendongak ke atas, menatap langit yang cerah, remang kebiruan. Ia berdecak kagum. Tampak bintang di matanya yang bertaburan, bagai lautan kerlipan mutiara. Sungguh pemandangan yang langka di zaman sekarang, yang buminya telah terang oleh lampu-lampu kota. Ia juga melihat rasio bintang layang-layang di ujung barat letak duduknya, kembali ia menggelengkan kepala, lalu bertasbih atas ke AgunganNya.


 Lama, pikirannya kosong. Yang ada hanya rasa putus asa, karena harapan untuk memiliki motor pasti takkan terwujud. Mengingat ayahnya hanya seorang buruh jaga toilet di kota, dan ibunya bercocok tanam di kampung, ia menunduk dalam. Kesedihan terpancar dari wajahnya yang murung.


 Iwan adalah anak satu-satunya, dari pasangan suami istri yang menikah pada usia lapuk. Ia juga terlahir setelah usia mereka berdua diatas empat puluh lima tahun. Kedua orangtuanya sangat awam dalam hal pendidikan.


 Kembali Iwan bergedek, lalu memejamkan mata sesaat. Ia merasa tulisan-tulisannya tak ada yang menarik. Percuma dan malu jika diikutsertakan dalam lomba. Ia telah lupa dengan maksud kedatangannya kesekolahan itu. Saat dia tengah asyik menatap langit serta bintangnya, tiba-tiba seseorang mencolek punggungnya dari belakang. Iwan kaget, lalu menoleh ke belakang. Tak ada seorangpun. Kembali ia menatap ke atas, mencari bintang yang baru saja hilang dari pandangannya. Sesaat ia lupa akan colekan tersebut. Hingga tak lama kemudian, ia merasakan bulu romanya meremang. Ia pun hanya mengusap-usap lengannya dengan telapak tangan. Hingga tak lama kemudian, kembali ia merasa punggungnya dicolek oleh seseorang. Ia pun kembali menoleh ke belakang, “Tak ada orang” pikirnya. Ia menggaruk-garuk kepalanya sendiri. Heran, tentang siapa yang mencoleknya.


 Ia menggerakkan sedikit tubuhnya ke depan, hingga tak lagi menyender ke tembok pagar. Aneh, ia merasakan indra penciumannya itu mencium wewangian. Ia mengendus-endus hidung, merasakan wanginya. Dan untuk kali ketiga, ia merasa dicolek oleh seseorang, kembali ia menoleh ke belakang. Untuk kali ini, ia tercengang seketika. Kaget bukan mainan. Matanya melotot, melihat wajah cantik seorang wanita, namun putih seputih tembok, tersenyum memamerkan giginya yang hitam serta bibirnya yang merah menyala. Seluruh badannya terbungkus kain putih, dan berdiri tepat di sampingnya. Dadanya bergemuruh hebat, seluruh tubuhnya gemetaran. Seketika ia meloncat ke bawah dengan tujuan hendak lari. Namun sayang, kakinya begitu terasa berat, kerongkongannya seolah kering, tak mampu menelan air ludah. Mulutnya ternganga, namun tak bisa berbicara, kaku dalam bisu.


 “Ha, ha, ha, ha, han……” hantu, maksud jeritnya. Namun sayang, kembali suaranya tercekat di tenggorokan. Ia tatap hantu pocong itu, berjalan melompat-lompat hendak mendekatinya. Ia semakin ketakutan. Langkahnya terasa berat, bagai berjalan menerjang angin topan, hingga menggigil seluruh persendiannya. Tiada apa yang ia ingat, otaknya seolah berhenti berputar. Ia takut, sampai terkencing-kencing di celana.


 “To, to, to, to, longgg,…!!!” jeritnya. Sambil terus berlari, yang seolah tetap pada tempatnya. Hingga akhirnya, setelah mati-matian ia mengeluarkan tenaga untuk lari, ia sampai juga pada jembatan yang bersebelahan dengan kuburan. Pocong itu meloncat-loncat mengejarnya, dan pada saat yang tak di duga,


 Bugggg………

 Ia terjatuh, dan kepalanya membentur besi kecil jembatan. Kakinya terasa sakit, matanya berkunang-kunang, namun ia telah kelelahan. Sebelum ia pingsan ia sempat melihat pocong itu dekat sekali dengan tubuhnya, bahkan mendengar pocong itu berkata, “Bukankah kamu ingin melihatku?”


 Iwan membuka mata. Pertama kali yang di lihatnya adalah Hadi teman karibnya, yang tengah mengompres wajahnya dengan handuk dan air hangat. Ia bingung melihat kamar yang cantik.


 “Aku ada dimana Di? Tanya Iwan.

 “Tenang saja, kamu ada di rumahku kok Wan” jawabnya. “Tadi aku melihat kamu pingsan di pinggir jembatan, lalu aku bawa kamu ke kamarku” jelasnya lagi. Iwan mengangguk-angguk pelan

 “Oh,…”

 “Aku takut Di. Tadi aku lihat pocong di depan sekolahan kita” ucap Iwan, memulai ceritanya. Hadi dalam pandangannya, diam sambil manggut-manggut duduk di tepi ranjang, mendengar serta menatap Iwan lekat-lekat.


 Setelah lama mereka berdua duduk dan bercerita, Hadi bangkit dari ranjang, lalu melangkah ke depan dan keluar kamar. Kembali mata Iwan mendelik, melihat Hadi yang baru saja melangkah kedepan, ternyata tak menepakkan kakinya di lantai. Bulu romanya kembali meremang, lalu untuk kedua kalinya ia meloncat, dan menjerit.


 “Masya Allah,…..!!” ia menyebut Allah dengan berat serta ketakutan. Kedua telapak tanganya menampari wajahnya. Lalu tiba-tiba ia mendengar suara adzan subuh berkumandang.

 “Allahu Akbar, Allahu Akbar…..!”

 Jleg…!! Iwan bagai terjatuh dari awang-awang. Pandangannya gelap menatap pekat malam. Ia heran dengan hilangnya lampu dan kamar cantik itu. Samar-samar ia melihat pohon-pohon dan rumah kecil disebelahnya. Ia merangkak, meraba-raba sesuatu di tanganya. Ia tersadar saat ini ia memegang batu nisan. Kembali ia menjerit histeris.


 “Embokkkkkkk,……!!!” jeritnya, sambil berlari membabi buta keluar dari tanah pekuburan. Kali ini ia mampu berlari, dan terus berlari. Sambil ia mengucapkan takbir, ia terus berlari ke jalan raya. Di sana, ia bertemu dengan Kang Slamet. Ia menjerit memanggil, dengan sisa tenaganya. Dadanya terasa sakit, dan kakinya telah lelah.


 “Kanggg,….!”

 Seketika Kang Slamet menoleh kebelakang, mendengar seseorang memanggil namanya. Ia mendekati Iwan yang berlari sambil melambai-lambai tanganya sesaat, lalu jatuh.


 “Yu Rob! Ini anakmu pulang” Kang Slamet menggendong tubuh Iwan yang pingsan. Di rumahnya telah ramai dari semalam. Berita hilangnya Iwan membuat tetangganya terjaga dan berkumpul di rumahnya. Orang-orang lelaki mencari Iwan hingga dini hari. Mereka juga berusaha mencari melalui perantara orang tua, untuk mengetahui keberadaan Iwan, namun sayang, Iwan tak juga di ketahui rimbanya. Hingga ia muncul dengan sendirinya dan ditemukan oleh Kang Slamet. Warga yang melihatnya sangat iba, sementara ibunya menangis terus hingga matanya sembab.


 Kembali Iwan membuka mata, perlahan sadar dari pingsannya. Ia masih trauma dengan kejadian tadi, takut mbok yang dilihatnya juga hantu pocong tadi yang menyamar. “Mbok….” Ucapnya lirih, lalu tangisnya pecah. Mereka berdua berpelukan, disaksikan oleh warga.


 Dua minggu kemudian, Iwan masih trauma. Namun setelah ia membaca buku motivasi itu, kembali ia menulis. Ia menulis kisah menyeramkan pertamanya seperti yang tertera dalam lomba. Ia menulis dengan hati, seperti yang telah dinasehatkannya. Ia menulis apa yang dilihat dengan mata dan kepalanya. Dirasa dengan hati, serta dialami, dan akhirnya ia merasa setelah ia menulis semua apa yang menjadi traumanya, ternyata ia merasa lega. Masa deadline untuk lomba mengarang tinggal seminggu lagi, buru-buru ia memasukkan tulisannya ke dalam amplop berwarna coklat. Lalu ia ditemani Hadi membawa surat tersebut ke kantor pos.


 Kini ia lega, seolah beban trauma telah ia buang ke dalam tulisan tersebut. Tiada yang tersisa, semua ia ceritakan secara detil apa yang dialaminya. Di situ ia menyadari, bahwa dengan cara menulis, ia mampu mengobati sendiri rasa ketakutan serta trauma yang melandanya selama ini.


 Dua bulan kemudian. Saat ia tengah menggembalakan sapi di lapangan rumput belakang sekolahan seperti biasanya, tiba-tiba mboknya datang dengan berlari ketakutan, sambil menarik tinggi-tinggi kainnya.


 “Nak kamu cepat lari, Pak Polisi mencarimu” ucap mbok, dengan suara terputus-putus karena ngos-ngosan, kelelahan berlari-lari. Iwan mengernyitkan dahi, bingung dan takut. Ia mendengar mbok mengatakan polisi mencarinya.


 “Mbok, bener ada Pak Polisi nyari aku? Tanyanya. Ketakutan kembali tergambar di wajahnya.


 “Wan! Oi, pulang cepat. Ada kejutan buat kamu” panggil Hadi dari kejauhan. Iwan semakin tak mengerti. Lalu ia mendekati Hadi, dan menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Sang mbok masih megap-megap mengatur nafas ketakutan. Hadi tak menjawab pertanyaan sohibnya. Ia menarik tangan Iwan pulang ke rumah.


 “Selamat Nak. Anda pemenang lomba yang kami adakan. Silahkan anda mengambil hadiahnya di kantor kami minggu ini” Ucap salah satu lelaki yang berdasi. Sementara kedua lelaki yang lain mengambil fotonya ketika ia bersalaman dengan lelaki berdasi dan pak polisi tersebut.

 Mendengar ucapan itu, tubuhnya justru lemas seketika. Keringat dingin membasahi tubuhnya. Ia masih tak percaya dengan berita ini.


 “Selamat Wan, kamu memang hebat. Nanti kita bisa naik motor bersama yah” ucap Hadi, sambil membopongnya. Sang mbok keluar dari persembunyianya, lalu bingung melihat anak semata wayangnya dipuji-puji.


 “Mbok, Iwan nanti punya motor” ucap Hadi memberitahu.

 “Oh….” mbok manggut-manggut tak faham. “Motor apa sih, Di” Tanya mbok ingin tahu.

 “Mbok, itu lho yang di tipi, yang iklanya bilang, ‘Shogun dilawan’ gitu, masa mbok lupa” seloroh Iwan, malu dalam bangga. Semua tergelak, tertawa, bahagia.

 Bukankah engkau telah melihat, bahwa setelah malam puas dengan gelap gulitanya, maka fajar pagi pun pasti datang dengan sinar cahayanya

 “Terima kasih ya Allah” ucap Iwan dalam hati.



























Tidak ada komentar:

Posting Komentar